Laman

Sabtu, 25 Mei 2013

TEORI 3 TOKOH ANTROPOLOGI


. Teori Fungsionalime Malinowski
Bronislaw Malinowski (1884 – 1942) merupakan salah satu tokoh antropologi yang menggagas dan berhassil mengemabangkan teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi. Dan yang paling penting untuk dicatat adalah bahwa teorinya ia kembangkan dengan menekuni penelitian lapangan. Kepulaun Trobriand diwilayah pasifik dipilihnya menjadi objek penelitian dan dari daerah itu pula dari tangan malinowski lahir berbagai karya tulisan yang sangat dikagumi dikalangan antropologi, salah satu adalah “Argonauts Of The Western Pacific”
Secara garis besar Malinowski merintis bentuk kerangka teori untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya sutu teori fungsional tentang kebudayaan ata “a functional theory of Culuture”. Dan melalui teori ini banyak antropolog yang sering menggunakan teori tersebut sebagai landasan teoritis hingga decade tahun 1990-an, bahkan dikalangan mahasiswa menggunakan teori ini untuk menganalisisdata penelitian untuk keperluan skripsi dan sebagainya.
Tulisan “Argonauts of the Western Pacific” (1922) melukiskan tentang sistem
Kula yakni berdagang yang disertai upacara ritual yang dilakono oleh penduduk di
kepulauan Trobriand dan kepulauan sekitarnya. Perdagangan tersebut dilakukan dengan menggunakan perahu kecil bercadik menuju pulau lainnya yang jaraknya cukup jauh. Benda-benda yang diperdagangkan dilakukan dengan tukar menukar (barter) berupa berbagai macam bahan makanan, barang-barang kerajinan, alat-alat perikanan, selain daripada itu yang paling menonjol dan menarik perhatian adalah bentuk pertukaran perhiasana yang oleh penduduk Trobriand sangat berharga dan bernialai tinggi. Yakni kalung kerang (sulava) yang beradar satu arah mengikuti arah jarum jam, dan sebaliknya gelang-gelang kerang (mwali) yang beredar berlawanan dari arah kalung kerang dipertukarkan.
Karangan etnografi dari hasil penelitian lapangan tersebut tidak lain adalah bentuk perkeonomian masyarakat di kepulauan Trobriand dengan kepulauan sekitarnya. Hanya dengan menggunakan teknologi sederhana dalam mengarungi topografi lautan pasifik, namun disis lain tidak hanya itu, tetapi yang menraik dalam karangan tersebut ialah keterkaitan sistem perdagangan atau ekonomi yang saling terkait dengan unsur
kebudayaan lainnya seperti kepercayaan, sistem kekerabatan dan organisasi sosial yang berlaku pada masyarakat Trobriand. Dari berbagai aspek tersebut terbentuk kerangka etnografi yang saling berhubungan vsatu sama lain melalui fungsi ddari aktifitas tersebut. Pokok dari tilisan tersebur oleh Malinowski ditegaskan sebagai bnetuk Etnografi yang berintegrasi secara fungsional. Selain dari hasil karya etnografinya, tentunya harus diperhatikan pula upaya-upaya Malinowski dalam mengembangkan konsep teknik dan metode penelitian. Dan sangat lugas ditekankan pentingnya penelitian yang turun langsung ketengah-tengah objek masyarakat yang diteliti, menguasai bahasa mereka agar dapat memahami apa yang objek lakukan sesuai dengan konsep yang berlaku pada masyarakat itu sendiri dan kebiasaan yang dikembangkan menjadi metode adalah pencatatan. Mencatat seluruh aktifitas dan kegiatan atau suatu kasus yang konkret dari unsur kehidupan. Selain dari pada itu yang patut untuk para peneliti menurut Malinowski adalah kemampuan keterampilan analitik agar dapat memahami latar dan fungsi dari aspek yang diteliti, adat dan pranata sosial dalam masyarakat. Konsep tersebut dirumuskan kedalam tingkatan abstraksi mengenai fungsi aspek kebudayaan, yakni :1
1.
saling keterkaitannya secara otomatis, pengaruh dan efeknya terhadap
aspek lainnya.
2.
konsep oleh masyarakat yang bersangkutan.
3.
unsur-unsur dalam kehidupan sosial masyarakat yang terintegrasi secara
fungsional.
4.
esensi atau inti dari kegiatan /aktifitas tersebut tak lain adalah berfungsi
untuk pemenuhan kebutuhan dasar “biologis” manusia.
Melalui tingkatan abstraksi tersebut malinowski kemudian mempertegas inti dari teorinya dengan mengasumsikan bahwa segala kegiatan/aktifitas manusia dalam unsur-unsur kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah kebutuhan naluri mahluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kelompok sosial atau organisasi sebagai contoh, awalnya merupakan kebutuahn manusia yang suka berkumpul dan berinteraksi, perilaku ini berkembang dalam bentuk yang lebih solid dalam artian perkumpulan tersebut dilembagakan melalui rekayasa manusia.
II. Teori Struktur Sosial A. R. Radcliffe Brown
1Dikutip dalam Koentjaraningrat (1987) “Sejarah Teori Antropologi I”, UI Press, Jakarta

Teori-teori struktural dalam kajian antropologi sangat beragam namun pada tulisan ini dan sebagaimana sejarahnya konsep struktural dalam antropologi pertama kali diajukan oleh A. R Radcliffe Brown (1889 – 1955), ide pokoknya adalah tentang strutur sosial seperti yang diasumsikan bahwa perumusan dari keseluruhan hubungan atau jaringan antarindividu dalam masyarakat, hal yang dilihat dalam struktur sosial adalah tak lain dari prinsip-prinsip kaitan antara berbagai unsur masuarakat seperti status dan peran, pranata dan lembaga soaial. Selanjutnya dikatakan hubungan intreaksi antara individu dalam masyarakat merupakan hal yang konkrit sedangkan struktur sosial berada di belakangnya dan mengendalikan hal yang konkrit tersebut. Jadi struktur sosial tidak diamati.2
Radcliffe Brown mengemukakan gagasan dan pandangannya terhadap kehidupan sosial kebudayaan melalui karyanya “The Andaman Islanders”(1922), dalam karangan tersebut ia menguraikan dan mendeskripsikan aspek kekerabatan upacara yang terkait dengan mitos yang dilakoni dalam penduduk Andaman. Karyanya hampir bersamaan dengan terbitnya karya etnografi
Malinowski. Dan beberapa tokoh yang telah mengoreksi kedua karya dari Malinowski dan Radcliffe Brown disimpulkan adanya kesamaan pandangan dari metode keduanya mendeskripsikan bentuk kebudayaan yakni aspek struksul sosial yang digambarkan terintegrasi secara fungsional dan hingga kini santer disebut dengan kerangka konsepstruktur-fungsionalisme.
Melalui karangannya Radcliffe Brown juga telah merumuskan metode pendiskripsian terhadap karangan etnografi. Salah satunya ialah melalui aspek upacara, yang dirumuskan kedalam beberapa bagian ;
1. agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sintimen dalam jiwa warganya yang merangsang meraka untuk berperilaku sesuai dengan kebutuhan mereka.
2. Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat menjadi pokok orientasi dari sentimenn tersebut.
3. Sentimen itu ditimbulkan dalampikiran individu warga masyarakat sebagai
pengaruh hidup warga masyarakat.
4. Adat istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat
diekspresikan secara kolektif dan berulang pada saattertentu.
5. Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas itu dalam jiwa warga
masyarakat dan bertujuan meneruskan kepada warga generasi berikutnya.
Sama halnya dengan Malinowski melalui kerangka konsep dari fungsi dari suatu pranata, Radcliffe Brown juga memberikan asumsi tentang efek dari suatu keyakinan, upacara, adat dan aspek kebudayaan lainnya. Ia menggunakan istilah fungsi sosial untuk merujuk terhadapa gejala dalam kehidupan sosial. Sifat dari metode pendeskripsian konsep tersebut tidak lain adalah hubungan-hubungan sosial dari kesatuan-kesatun secara terintegrasi. Selain dari organisasi sosial, juga yang menjadi perhatian adalah aspek hukum, Radcliffe Brown memberikan istilah hukum dalam aspek teknisnya saja dan upayanya dalam memberikan batasan teknis pada tataran sistem pengendalian sosial yang ada dalam masayarakat yang lebih kompleks, karena menurutnya hukum tersbut ada jika terdapat alat-alat seperti polisi; pengadilan atau penjara. Gejala berlakunya huku pada masyarakat yang kompleks dibandingkan dengan masyarakat yang tidak meilki hukum, menurutnya dalam masyarakat yang sederhana yang ada adalah norma-norma dan adat yang berlaku terhadap masyarakat dan memberikan efek ketaatan secara otomatis, hal ini terjadi disebabkan oleh sifat kecil dari masyarakat tersebut.
Yang memberikan penekanan terhadap kerangka konseptual Radcliffe Brown adalah analoginya yang mengarahkan pada bentuk morfologi dan fisiologi (studi biologi) yang ia lekatkan terhadapa teorinya. Ia mengasumsikan kalau dalam organisme mahluk terdapat strukutur dari bagian yang saling terkait maka begitu pula terhadap pengelompokkan kehidupan manusia, seperti yang ia sarankan dalam metode komparasi terhadap budaya. Lepas dari itu pula ia mengakui bahwa perkembangan kearah ilmu sosial yang lebih matang terhadap metodologi ilmu alam tidak akan terjadidengan cepat. Karena berbagai faktor yang dianggap menghambat.

Teori Strukturalisme Levi’ Straus
Pandangan Eropa terhadap dimensi kehidupan sosial seperti konsepsi Jean Paul Sartre tentang eksistensi manusia mendahuli esensi sehingga sebagai subjek, manusia adalah mahluk yang bebas, otonom (subjektifitas). Sementara itu Claude Levi Staruss (yang juga orang Perancis) mendemonstrasikan konsepnya menentang pandangan tersbut dengan mengatakan bahwa manusia tidak sebebas apa yang telah dikemukakan Sartre. Bagi Levi Strauss, Manusia tidak selalu bertindak sadar da membuat pilihan dam kebebasan total, tetapi ada struktur yang selalu berada dibalik gejala yang diam-diam, tanpa disadari bahkan menentukan pilihan-pilihan partikular individu.3 Sampai pada perkembangan sejarah teori hingga kiniStrukturalisme selalu diidentikkan dengan Levi Strauss yang telah berhasil mengembangkan paradigma yang terbilang sangat fenomenal dalam pendekatan kebudayaan, lebih dari itu semua uapayanya dalam mengajarkan kepada kita tentang apa sesungguhnya kebudayaan. Meski begitu, banyak beberapa ahli antropologi yang mengkritiknya dengan menggagap bahwa kerangka teoritiknya terlalu menyederhanakan masalah serta pandangannya tentang sistem kekerabatan yang terlalu meremehkan martabat wanita (bias gender).
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mungkin kita bertanya apa yang ia
maksud dengan“struktur” atau“strukturalisme”? untuk pertanyaan tersebut Heddy Shri

Ahimsa-Putra menerjemahkannya dengan cukup baik. Mengenai struktur, Levi Strauss mengatakan bahwa struktur adalah model yang dibuat oleh ahli antropologi untuk memahami atau mejelaskan gejala kebudayaan yang dianalisisnya, yang tidak ada kaitannya dengan fenomena itu sendiri, dengan kata lain struktur adalah relations of
relations (relasi dari relasi) atau system of relation . Disinilah Levi Strauss berbeda
pandangan dengan Radcliffe Brown yang mengatakan bahwa relasi-relasi empiris antar
individu.4
Struktural yang telah dikembangkan oleh Levi Staruss juga tidak terlepas dari pengaruh tokoh dan pemikiran lain, yakni Karl Marx, Sigmund Freud dan ilmu geologi. Yang menarik dari pandangan Marx menurutnya dalah bahwa bentuk-bentuk kondisi permukaan dalam masyarakat (politik dan ekonomi) yang sekilas tampak sedanya, kacau balau seprti adanya pemogokan, kemiskinan, ekspliotasi dansebagainya sesungguhnya dapat dirunut kedalam mata rantai sebab-akibat di bawah permukaan yakni sekitarpemilikan kapital, saran produksi dan stritur kelas. Sedang melalui Sigmund Freud menerangkan tentang“ket idaksadaran” dan kemungkinan memetakan struktur jiwa manusia atau bisa Levi staruss sebutkan dengan “human mind”,dan bahwa dari sedikit tanda-tanda yang muncul dalam suatu masyarakat (mitologi, ritual dan adat) dapat disusun sebuah gambar tentang sistem kebudayaan sebuah masyarakat. Levi staruss juga senang dengan ilmu geologi yang mempelajari tekstur permukaan tanah. Ia kagum bahwasanya struktur bebatuan yang tersembunyi di bawah tanah dapat dipakai untik menjelaskan tekstur permukaan bumi. Dari Marx, Freud dan ilmu geologi ini, Levi Staruss belajar bahwa fenomena di permukaan atau biasa disebutnya dengan “struktur
luar”, yang tampak seadanya ternyata ditentukan oleh “struktur dalam” yang kurang
lebih bersifat teratur dan tetap.
Kecuali ketiga hal tersebut yang paling mempengaruhi tentu saja adalah linguistik
struktural. Seperti Ferdinand de Saussure yang merasa perlu mengkaji dan mengurai
langue dan bukan Parole, Levi Staruss berpendapat bahwa kita perlu melampaui studi
atas gejala yang ada di permukaan (misalnya mitos) dan mengurai logika generatif dalam
sistem kultural. Penggunaan ilmu linguistik sebagai model dalam kajiannya


Edward Burnett Tylor
Tylor meyakini bahwa Animisme adalah pemahaman agama yang paling awal dan yang paling mendasar. Mereka menjelaskan asal mula dan perubahan agama melalui pandangan tersebut. Dalam pandangan Tylor, agama adalah sebuah jenis filsafat dan pandangan dunia, dimana manusia yang tidak memiliki pandangan ilmu, menjelaskan dan menafsirkan alam sekitarnya dengan agama tersebut.
Ia juga meyakini bahwa Animisme ini sampai mempengaruhi seluruh sendi-sendi kehidupan manusia, yang mengatur seluruh prilakunya, misalnya jika kita ingin tahu mengapa manusia-manusia primitif memberikan hadiah yang berharga pada orang mati, dan bahkan terkadang mengorbankan seorang manusia untuknya. Jawabannya ada pada Animisme. Dan juga jika kita ingin bertanya mengapa sebagain dari manusia primitif dapat berbicara dengan hewan, yang seolah-olah seperti bicara dengan manusia. Jawabannya juga ada pada Animisme, yaitu karena mereka juga seperi manusia memiliki ruh dan jiwa.
Dengan berbagai contoh yang dikemukakan oleh Tylor, membuktikan bahwa Animisme-yang secara sepintas kelihatannya nihil dan tidak bermakna-dapat dipahami dan masuk akal.
Pandangan Tylor yang berakar pada perkembangan dan evolusi alam mental dan pikiran manusia, meyakini bahwa ada tiga bentuk metode dalam memandang dunia, yaitu metode magic, metode agama dan metode ilmu.[4] Menurut Tylor, magic yang tidak meyakini pada ruh dan jiwa, namun meyakini akan sebuah kekuatan-kekuatan non-personal, namun secara mendasar aktivitas magic dilakukan berasarkan prinsip analogi dan asosiasi.
Para ahli magic berusaha mempengaruhi sesuatu dengan melakukan sebuah aktivitas magic pada sesuatu yang mirip dengan sesuatu tersebut. Dalam metode agama, mereka menisbahkan fenomena-fenomena alam pada ruh-ruh yang mengontrol di balik fenomena-fenomena tersebut. Oleh karena itu, untuk menghindar atau mendatangkan fenomena tersebut mereka melakukan penyembahan pada ruh-ruh tersebut. Dalam pandangan Tylor, perjalanan tahapan evolusi pikiran dan pemikiran manusia akan berakhir pada metode ilmu, dimana dalam tahapan tersebut tidak ada lagi tempat untuk magic dan agama.
Walaupun dalam pandangan Tylor meyakini bahwa agama bersifat rasional (akal), tapi agama berhubungan pada masa manusia primitif. Menurutnya, walaupun agama Animisme dilihat sebagai sebuah usaha manusia primitif dalam menjelaskan alam, dan dianggapnya sebagai sebuah usaha yang seiring dengan ilmu alam, namun jika dibandingkan dengan ilmu modern, agama lebih kuno, lebih primitif dan kurang ahli dalam menjelaskan fenomena alam. Menurut Tylor, walaupun kepercayaan kepada ruh-ruh merupakan salah satu bagian tahapan dari tahapan-tahapan evolusi, namun ketika kita telah masuk pada tahapan ilmu, kepercayaan tersebut tidak bisa lagi kita terima, karena saat ini, ilmuan sederhana pun mengetahui bahwa tidak ada satupun pohon yang memiliki ruh, dan mengetahui bahwa segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukum alam, bukan berdasarkan kecendrungan pada ruh-ruh.
Oleh karena itu, agama dalam periode tertentu telah membantu manusia dalam mengetahui alam, saat ini dengan kemajuan pemikiran manusia, dan bersandar pengetahuan ilmiah, tidak lagi membutuhkan agama dalam menjelaskan fenomena alam. Manusia modern dapat membuang agama kecuali sebagian dari anjuran-anjuran akhlaknya, dan sebagiannya lagi harus ditolak dan dibuang.
Selanjutnya, Tylor berhadapan dengan sebuah pertanyaan, mirip dengan pertanyaan yang kita ajukan pada Comte, bahwa jika saat ini telah masuk pada periode ilmu, mengapa keyakinan dan kepercayaan terhadap agama masih tetap ada? Atau dengan kata lain, mengapa unsur-unsur yang ada dalam agama, masih tetap ada dalam periode ilmu? Untuk menjawab persoalan ini, Tylor mengambil bantuan dari pemahaman survival. Maksud Tylor dari survival adalah tradisi-tradisi, ritual-ritual, pandangan-pandangan ataupun semacamnya, yang pindah pada masyarakt modern melalui kebiasaan.[5]
Oleh karena itu, yang menyebabkan unsur-unsur dalam tahapan sebelumnya tetap ada dalam tahapan modern adalah kebiasaan. Pertanyaan selanjutnya bagaimana kita membedakan antarasurvival dengan lainnya? Menurut Tylor dalam sebuah budaya, segala sesuatunya memiliki makna, dan jika makna sesuatu dalam budaya tersebut tidak dapat dipersepsi, maka hal tersebut adalahsurvival. Survival adalah perkara-perkara yang dalam bingkai budaya kekinian tidak memiliki makna tertentu. Namun jika ada orang yang mampu memaknai kembali terhadap makna ketika pertama kali hal tersebut ditemukan, maka hal tersebut kembali memiliki makna.
Misalnya pada periode Animisme masyarakat sangat meyakini ruh dan jiwa, salah satu kepercayaannya adalah ketika orang bersin, maka ruh keluar dari badannya, oleh karena itu, ketika ia bersin ia mengucapkan semoga anda disembuhkan. Namun saat ini tidak ada lagi yang meyakini hal tersebut. Bahkan saat ini perkataan di atas (semoga Anda mendapat kesembuhan) berubah menjadi tradisi yang nihil, yang mana tujuan asli dari pengucapan tersebut telah lama dilupakan. Dalam pandangan Tylor, sejarah manusia dipenuhi oleh khurafat-khurafat seperti ini, sebuah khurafat yang tetap tinggal dalam masyarakat. Agama juga termasuk salah satu dari survival tersebut yang harus ditinggalkan.
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa setiap unsur dari unsure-unsur sebuah budaya memiliki makna tertentu, dan survival hanya dapat diketahui dengan merevisi kembali alam mental ruang lingkup budaya. Setelah itu kita harus mengetahui bagaimanakah seorang sosiolog dan antropolog dapat mengetahui seluruh budaya atau sebagian dari unsur-unsur budaya sebuah masyarakat asing? Apakah kita tidak dapat mengetahui hal tersebut kecuali jika kita masuk dalam budaya tersebut dan kemudian mengenal lebih dalam lewat mempelajari bahasa, adapt-istiadat dan etikanya?
Untuk menyelesaikan persoalan ini, Tylor menawarkan sebuah solusi yang mudah. Tylor meyakini bahwa manusia memiliki bentuk pikiran dan pemikiran yang sama, ia menamakan kesatuan ini dengan kesatuan psikis." Karena seluruh manusia satu sama lain saling berargumentasi, oleh karena itu kita senantiasa dapat memahami maksud orang-orang yang hidup dalam budaya lain, bahkan sampai mengetahui niat-niat mereka. Oleh Karena itu, walaupun manusia-manusia primitif memiliki tingkat pengetahuan yang rendah, namun mekanisme alam mental mereka dengan mekanisme alam mental manusia modern adalah sama.[6]
Tylor meyakini dirinya berada dalam tahapan ilmu. Oleh karena itu, ia merasa bertanggung jawab untuk menjelaskan fenomena-fenomena budaya, termasuk agama, berdasarkan metode-metode ilmiah. Menurutnya, setiap penjelasan dengan berbagai dalih seperti mukjizat, ilham dan lain-lain, tidak termasuk kategori ilmiah, karena itu hal tersebut harus disingkirkan, hanya penjelasan yang berdasarkan metode-metode ilmiah yang dapat diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar